PENDIDIKAN KARAKTER: PARADIGMA BARU DALAM PEMBENTUKAN MANUSIA BERKUALITAS
(CHARACTER EDUCATION: NEW PARADIGM TO HUMAN CAPACITY BUILDING)
diambil dari tulisan Dwi Hastuti Martianto
ABSTRACT
Demoralization related by loss of individual self (the light side) and won of individual ego (the darkness side). It is caused by the breakdown of family and the weakness of moral standard and ethical instruction about right or wrong in family and society. Although poverty and low law-enforcement also correlated with crime and demoralization but the role of family and school are significantly important. Character education have major role to develop individual man into a man that knowing the good, feeling the good, loving the good, desiring the good, and acting the good. Therefore family and school should give hand in hand through practice and habituation instead of memorization to build human capacity building. In light with this there should be a new paradigm in family and school in Indonesia to educate individual into a man with character
1.0 KEJAHATAN DAN DEMORALISASI UMAT MANUSIA
1.1 Tinjauan Teoritis Kejahatan Umat Manusia
Individu disebut tidak bermoral (amoral) saat ia tidak mampu memberikan penghargaan (respect) terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Para psikolog melihat penyimpangan perilaku individu yang berbeda dengan norma umumnya ini sebagai suatu “deviant behavior”, atau “delinquent”, misalnya ketika seseorang mempunyai tingkat agresifitas (aggressive) yang amat tinggi disertai perilaku yang merusak (destructive) (Wade and Tavris, 1990). Bentuk penyimpangan lainnya adalah ketika individu mempunyai perilaku yang sangat berlawanan dengan lingkungannya sehingga disebut perilaku antisosial (antisocial behavior), dimana sifat merusak terhadap lingkungan sangat dominan, misalnya pada tingkat ringan dengan melakukan coret-coretan di tempat umum (graffiti), pada tingkat menengah dengan menganiaya orang lain, atau pada tingkat berat dengan membunuh makhluk hidup lainnya tanpa rasa iba. Dengan kata lain penyimpangan perilaku yang melawan nilai, norma dan hukum ini dikenal sebagai suatu kejahatan (crime).
Peperangan antara kebaikan dengan kejahatan telah berlangsung cukup lama melalui periode pre modern, modern dan post modern saat ini. Pembunuhan paling primitif pun telah dilakukan sejak periode Nabi Adam hingga pembunuhan Nabi Isa pada periode kekaisaran Romawi. Kejahatan dan keborokan manusia juga telah didokumentasikan oleh gereja katolik dan berbagai penulis misalnya Dante atau C.S. Lewis yang menggolongkannya sebagai the capital of sin atau the seven deadly sin. Dosa-dosa manusia ini meskipun dalam Bible terserak dan bukan merupakan daftar yang formal namun dapat digolongkan pada tujuh jenis yaitu sloth(malas), pride (membanggakan diri), gluttony(rakus), greed (ketamakan) , envy (iri), , lust(nafsu, birahi) dan wrath (amarah). Sementara itu kebajikan (virtue) sebagai perlambang dari lawan the seven sin masing-masing adalahzeal (semangat), humility (kerendahan hati),faith and temperance (kepercayaan, kesederhanaan, pantangan minuman keras),generosity (dermawan), love (cinta), self control (kontrol diri), dan kindness(kebaikan,kelembutan)
Dalam pandangan Nicolo Machiavelli (1469-1527) manusia itu pada dasarnya adalah penipu, rakus, tidak pernah terpuaskan dan serakah. Sementara itu Thomas Hobes (1588-1679) , mengatakan bahwa manusia itu mempunyai sifat dasar yang mementingkan egonya sendiri dan merupakan musuh bagi manusia lainnya (homo homini lupus)
Bapak Psikologi dinamika seperti Freud (1856-1939) memandang bahwa manusia itu bertingkahlaku atas dasar motif yang berada dalam pikiran alam bawah sadar (“unconscious mind”), sehingga seringkali manusia berbuat kejahatan atas pikiran yang tidak disadarinya. Sebagai bapak psiko-sexual, Freud memandang bahwa tingkah laku manusia terjadi atas dasar dorongan seksual (“sexual drive”) yang mengarah kepada prinsip kesenangan (pleasure principle) yang dikendalikan oleh id-nya masing-masing. Sementara itu ego manusia memberikan pertimbangan terhadap tingkah laku manusia atas dasar prinsip realitas (reality principle), sedangkan super ego memberikan pertimbangan terhadap tingkah laku manusia atas dasar prinsip moral (morality principle) (Wade and Tavris, 1992; Craig, 1986; Ross and Vasta, 1990). Ini berarti bahwa kadar id, ego dan super ego setiap manusia berbeda-beda, sehingga manusia yang cenderung pada kejahatan akan memainkan id-nya lebih dominan, sementara manusia yang cenderung pada kebaikan akan memainkan super-egonya lebih dominan. Idenya yang kontroversial adalah cara pandangnya terhadap perilku manusia yang menurutnya didasarkan oleh keinginan yang tidak disadari (unconscious desires) dan pengalaman masa lalu manusia berupa sexual desires dan sexual expression pada masa kanak-kanaknya.
Secara spiritual maka kejahatan merupakan suatu bukti atas ketidakmampuan manusia untuk mengendalikan nafsu (desires atau nafs), motif (motives) dan alam bawah sadar (unconscious mind) yang secara naluriah dimiliki oleh setiap manusia. Dalam pandangan agama kemenangan iblis atas manusia seringkali dijadikan simbol kemenangan kejahatan, dimana hilangnya nurani (conscience) dan lemahnya moral manusia merupakan hal yang menyebabkan terjadinya kejahatan pada umat manusia. Padahal manusia juga memiliki nurani dan moral sebagai simbol kebaikan (the basic goodness) yang secara naluriah dimiliki oleh setiap manusia. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, yang pertama adalah apakah yang menyebabkan manusia melakukan kejahatan, dan pertanyaan berikutnya adalah apakah kejahatan merupakan kesalahan dari inividunya ataukah merupakan kesalahan dari sistem dimana individu itu berada ?
1.2 Meluasnya Kejahatan dan Demoralisasi Umat Manusia
Ada beberapa indikator yang digunakan untuk melihat adanya kejahatan dan demoralisasi umat manusia yang kemudian dijadikan ukuran bagi perkembangan kualitas kehidupan suatu bangsa. Menurut Thomas Lickona (1992) terdapat sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa yaitu:meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, ketidakjujuran yang membudaya, semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orangtua, guru dan figur pemimpin, pengaruh peer group terhadap tindakan kekerasan, meningkatnya kecurigaan dan kebencian, penggunaan bahasa yang memburuk, penurunan etos kerja, menurunnya rasa tanggungjawab individu dan warga negara, meningginya perilaku merusak diri dan semakin kaburnya pedoman moral.
Di Amerika Serikat angka kejahatan dan demoralisasi dilihat dari berbagai perspektif. Pickthal (2002) melaporkan bahwa di Amerika Serikat secara nasional seperempat dari anak perempuan usia 15 tahun dan 30 persen dari anak laki-laki usia 15 tahun telah berhubungan seksual, sehingga setiap tahunnya hampir satu juta remaja perempuan di bawah usia 20 tahun hamil. Sementara satu dari 4 remaja yang aktif secara seksual terkena infeksi penyakit akibat hubungan seks (sexually transmitted deseases) seperti chlamydia, gonorrhea, herpes dan genital warts. Angka penggunaan narkoba pada remaja 12-17 tahun meningkat antara tahun 1989 dan tahun 1995 dari 8.4 menjadi 18.8 orang per 1.000 pengguna potensial. Lickona (1993) menyebutkan bahwa di Amerika tingkat bunuh diri pada remaja laki-laki usia 15-24 tahun lebih tinggi 7 kali lipat dibandingkan Canada dan 40 kali dibandingkan Jepang. Pembunuhan di kalangan remaja (youth suicide) juga meningkat 3 kali selama periode 25 tahun terakhir.
Namun yang lebih mengerikan adalah apa yang dilaporkan The Children’s Defense Fund yang menyebutkan bahwa pada tahun 1983, 2 951 anak usia 20 tahun terbunuh karena senjata (gunfire), sedang pada tahun 1993 terdapat sejumlah 5 751 anak remaja terbunuh. Jumlah ini tiga kali lebih besar dari jumlah kasus pembunuhan yang terjadi di Australia, Belgia, Canda dan Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Norwegia, Spanyol, Swiss dan Finlandia.
Antara tahun 1960 hingga 1990 Kilpatrik menganalisis di Amerika Serikat telah terjadi kenaikan 560 persen dalam kejadian kriminalitas dengan kekerasan (violent crime), kenaikan 419 persen dalam kelahiran di luar pernikahan (illegitimate births) dan tingkat perceraian. Ia menilai bahwa dibandingkan negara maju lainnya, Amerika Serikat tertinggi dalam tingkat perceraian, kehamilan di kalangan remaja, tertinggi dalam tingkat aborsi, dan tertinggi pula dalam kematian akibat kekerasan (violent death) di kalangan remaja.
Kejahatan dan penyimpangan dalam masyarakat Amerika juga dapat dilihat dari tingginya statistik anak dan remaja berikut ini dimana setiap harinya lahir 2,500 bayi diluar pernikahan, 135,000 anak membawa senjata ke sekolah, 7,700 anak remaja aktif secara seksual, 1,100 remaja melakukan aborsi, 600 remaja terjangkit syphilis atau gonorrhea, dan 6 remaja bunuh diri. (Horn, 1991). Bisa diperkirakan jumlah penyimpangan tersebut setiap tahunnya, yang akhirnya membentuk masyarakat generasi baru Amerika yang berbeda dengan dekade sebelumnya. Artinya dalam beberapa dekade saja Amerika telah berubah menjadi negara industrialisasi dengan angka kejahatan tertinggi.
Negara-negara barat di Eropa yang dikenal sebagai negara Skandinavia juga terkenal sebagai negara dengan tingkat perpecahan dan ketidakstabilan keluarga yang tinggi, dimana angka perceraian tinggi, sementara angka perkawinan amat rendah (Megawangi, 1999). Laporan The Economist (9/9/1995) menyebutkan bahwa hal ini berdampak pada tingginya persentase anak yang dilahirkan di luar pernikahan (50 persen), dibandingkan dengan Jepang yang angkanya hampir 0 persen. Menurut Megawangi (1999) angka kenakalan remaja di kawasan ini memang meningkat dalam kurun waktu 20 tahun. Data dari Denmark, Norwegia, dan Swedia memperlihatkan bahwa angka kriminalitas meningkat sebesar kira-kira 400 persen antara tahun 1950-an dan 1970-an. Demikian pula angka anak-anak yang bermasalah karena alkoholik, ketergantungan obat bius, dan terlibat kekerasan yang telah meningkat 400 persen di Denmark dalam kurun waktu 1970-1980. Hal ini diduga ada kaitannya dengan adanya era child-gulag, yaitu pengiriman anak secara besar-besaran ke day-care center.
Fakta-fakta yang terjadi di negara barat di atas bukan berarti bahwa di negara timur yang notabene merupakan negara berkembang (developing country) kondisinya jauh lebih baik. Dari sisi kriminalitas, angka statistik kejahatan dan demoralisasi di kalangan remaja di negara seperti Thailand, Malaysia, atau Vietnam, Cina dan Indonesia barangkali belum seburuk apa yang telah terjadi di Amerika. Namun bukan tidak mungkin apa yang terjadi pada remaja Amerika sebagian akan dan sudah terjadi di beberapa negara-negara berkembang tersebut, hanya statistiknya mungkin masih underestimatedatau belum dilakukan survey secara nasional tentang kejahatan di kalangan remaja.
Kejadian tawuran di Indonesia, misalnya, begitu sering terjadi pada remaja di kota besar Indonesia, terutama di Kota Jakarta dan Bogor sehingga telah berada pada tahap yang mengkhawatirkan, dan telah memakan korban jiwa para remaja yang seharusnya menjadi penerus bangsa. Di Bogor saja, telah dilaporkan bahwa terjadinya tawuran seringkali merupakan aktivitas yang direncanakan sehingga termasuk kejahatan yang terencana, dimana para pelajar ini membawa senjata tajam aneka bentuk mulai dari gir sepeda, payung berbentuk pisau, golok, samurai, clurit dan berbagai benda berbahaya lain untuk menganiaya musuhnya dengan sengaja (Dina, Puspita, Tanjung dan Widiastuti, 2001). Di antara mereka bahkan melakukan penganiayaan hingga menewaskan lawannya dengan perasaan tidak bersalah dan berdosa.
Sementara itu kejadian seks di luar pernikahan juga telah menjadi trend di kalangan remaja didorong oleh makin maraknya penyebaran kaset VCD, situs porno, dan penggunaan narkoba serta minuman alkohol yang meluas sampai ke pedesaan. Disamping itu etos kerja yang buruk, rendahnya disiplin diri dan kurangnya semangat untuk bekerja keras, keinginan untuk memperoleh hidup yang mudah tanpa kerja keras, nilai materialisme (materialism, hedonism) menjadi gejala yang umum dalam masyarakat. Hal ini tercermin pada tingginya praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi di Indonesia, khususnya pada lembaga pemerintahan sehingga mendapatkan gelar negara terkorup di dunia sesuai laporan PERC pada tahun 2002.
2.0 AKAR PERMASALAHAN DEMORALISASI
Pertanyaannya tentu saja, apakah yang terjadi pada negara-negara barat maupun timur, sehingga angka kejahatan dan penurunan moralitas telah meningkat demikian tajam pada dekade terakhir ini? Brooks dan Goble (1997) mengungkapkan bahwa meningkatnya kejahatan dan kriminalitas dalam masyarakat seringkali dihubungkan dengan kemiskinan, pengangguran, diskriminasi, kelemahan hukum dan sebagainya. Misalnya saja di Amerika dengan meningkatnya statistik kriminalitas maka oleh para pemimpin negara , dengan berbekal asumsi bahwa kejahatan berakar dari permasalahan lemahnya kontrol hukum, maka dibuatlah kebijakan peningkatkan jumlah polisi, perbanyakan penjara, dan perpanjangan hukuman. Akan tetapi angka kriminalitas tetap saja meningkat, hingga kemudian dilakukan upaya lainnya melalui pengentasan kemiskinan, pemberian berbagai tunjangan, dan sebagainya yang intinya guna menurunkan angka kemiskinan (poverty aveliation), namun angka kejahatan pun tetap tinggi.
Dalam pandangan ideologis seperti Marx tentu saja kejahatan dan kriminalitas ini dihubungkan dengan ketidakadilan sistem yang berakar dari permasalahan ketimpangan atau diskriminasi dalam relasi produksi antara kelas borjuis dan kelas proletar. Penindasan yang dibuat kaum borjuis atas kaum proletar, penindasan laki-laki atas perempuan atau penindasan kelas elite atas kelas bawah merupakan pencetus kemarahan dan konflik yang menjadi pendorong kejadian kriminalitas. Karenanya untuk memperbaiki kondisi ini maka masyarakat tanpa kelas (class-less society) merupakan solusi yang ditawarkan. Marx dan pengikutnya (Marxis) percaya bahwa dengan perubahan sistem yang mendasar dalam kehidupan dengan menciptakan masyarakat yang egaliter dan tanpa kelas dan persamaan di semua bidang akan menghilangkan kecemburuan yang menjadi pemicu terjadinya kejahatan. Menurut Marxis adanya sistem patriarkhi yang membuat masyarakat terbagi atas struktur merupakan sistem yang memungkinkan terjadinya relasi yang tidak harmonis antara kelas atas sebagai penguasa sumberdaya, dan kelas bawah sebagai buruh. Sebaliknya mereka melihat bahwa sistem kapitalisme yang membuat masyarakat terbagi atas struktur atas dan bawah merupakan ladang subur terjadinya penindasan oleh kelas penguasa terhadap buruh. Dalam pandangan mereka ketimpangan atau gap penguasaan sumberdaya yang tinggi antar kelas inilah yang menimbulkan kemarahan dan menjadi pemicu mengapa di negara kapitalis seperti AS angka kriminalitas menjadi begitu tinggi.
2.1 Kelemahan Institusi Keluarga
Tinjauan teori keluarga memiliki cara pandang yang berbeda dalam melihat penyebab kriminalitas dan demoralisasi dalam masyarakat. Dalam pandangan mereka keluarga tidak lagi menjadi wadah yang dapat menumbuhkembangkan karakter manusia karena permasalahan yang dialami oleh pasangan suami dan istri itu sendiri, disamping adanya tekanan dari lingkungan luar keluarga termasuk dari media massa dan bekerjanya kaum perempuan di sektor publik. Menurut Bronfenbrenner dalam teorinya tentang family ecology and the child development dinyatakan bahwa anak merupakan suatu bagian dari sistem keluarga yang pertumbuhan dan perkembangannya mendapatkan pengaruh terutama dari keluarga kemudian dari lingkungan luar keluarga, mulai dari lingkungan mikro, lingkungan messo, lingkungan exo dan lingkungan makro. Sehingga penyimpangan yang terjadi pada individu merupakan suatu hasil pengaruh sistem keluarga dan lingkungan luarnya ini.
Menurut Brooks dan Goble, keluarga Amerika berubah setelah perang dunia ke dua (PDII) berakhir. Pada era sebelum PD II wanita umumnya merupakan ibu rumahtangga sementara suami bekerja di sektor pertanian, sehingga ketika pecah perang dan keluarga harus bertahan hidup maka perempuan mulai bekerja di luar rumah untuk menggantikan peran suami yang pergi ke medan perang. Kedatangan para suami dari perang kemudian melahirkan banyak bayi (dikenal sebagai baby boom), sementara kaum ibu tidak berniat kembali ke rumah dan meneruskan kerja di luar rumah bahkan ke sektor industri yang jenis pekerjaannya lebih formal. Fenomena inilah yang mulai merubah keluarga Amerika yang ditandai dengan tingginya tingkat perceraian setelah era ini.
Ahli lain menganggap bahwa kemiskinan moral juga berkaitan dengan kemiskinan (poverty), dimana kasus kejahatan dan kriminalitas relatif lebih tinggi resiko nya karena alasan kemiskinan. Tetapi setelah program-program anti kemiskinan (poverty aveliation) ternyata juga tidak menurunkan angka kejahatan, maka faktor penyebabnya terus dicari. Seperti diungkapkan oleh Fagan (1995) , bahwa terjadinya kriminalitas harus dilihat pada akar permasalahannya. Menurut Fagan, bukti-bukti telah menunjukkan bahwa tingginya angka kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1990-an bukanlah berakar dari kemiskinan semata. Yang lebih menjadi penyebab adalah adanya ketidakstabilan keluarga dalam masyarakat Amerika, dimana perceraian meningkat, keluarga dengan orang tua tunggal menjadi trend, dan kurangnya hubungan intim dan kasih sayang dalam perkawinan dan keluarga. Bahkan sebagaimana disinyalir oleh Judge L. Bazelon of the US court of appeals in Washington, kriminalitas bukan hanya berhubungan dengan kemiskinan saja, akan tetapi plus prejudice, plus perumahan yang buruk, plus kurangnya pendidikan, plus kurangnya makanan dan kesehatan, serta plus buruknya lingkungan keluarga, atau bahkan tidak punya keluarga sama sekali.
Para ahli keluarga, seperti Barbara Dafoe Whitehead, menyatakan bahwa ketidaksahan(“illegitimacy”) bukan satu-satunya ancaman bagi anak. Dia melihat bahwa budaya Amerika bukan saja budaya dengan ibu yang tidak menikah, tetapi juga bercerai. Fenomena ini menurutnya, adalah hasil dari ideologi kebebasan ekspresif individual yang mengunggulkan aktualisasi diri sendiri dibandingkan kebutuhan anak-anaknya. Patrick Fagan percaya bahwa banyaknya keluarga yang “broken” akan menyebabkan masyarakat menjadi buruk dan sakit, karena dimulai dari cara yang salah atau keliru:
“whenever there is too high a concentration of such broken families in any community, that community will disintegrate. Only so many dysfunctional families can be sustained before the moral and social fabrics of the community itself breaks down. Re-establishment of the basic community code of children within marriage is necessary both for the future happiness of American families and for a reduction in violent crime”
ditempat dimana banyak keluarga “broken”, disitulah terdapat komunitas yang terpecah. Ada keluarga “tak berfungsi” yang berusaha dipertahankan selama produksi moral dan sosial belum mengalami kehancuran. Penetapan kembali nilai anak dalam pernikahan adalah amat penting baik bagi masa depan kebahagiaan bangsa Amerika maupun upaya penurunan kriminalitas dan kejahatan).
2.2 Kelemahan Standar Moral
Sementara itu tinjauan agama melihat bahwa manusia terlalu lemah dalam pengendalian emosi dan nafsunya karena tidak lagi memiliki ikatan kuat dengan kekuasaan absolut Tuhan yang supranatural dan tidak diikat oleh kebiasaan baik yang membentengi manusia dari pengaruh kejahatan. Lahirnya paham positivism -dengan mengedepankan bukti nyata science hingga bukanlah kebenaran jika tanpa bukti empirik- telah menggoyang keyakinan manusia tentang keberadaan moral dan agama, seperti dituliskan oleh Wilson (1993):
“Why has moral discourse become unfashionable or merely partisan? I believe it is because we have learned, either firsthand from intellectuals or secondhand from the pronouncements of people influenced by intellectuals, that morality has no basis in scince or logic. To defend morality is to defend the indefensible”.
Beberapa ahli telah menilai bahwa demoralisasi ini berhubungan dengan rendahnya standar moral dan lemahnya penetapan norma baik dan buruk serta benar dan salah dalam masyarakat maju, yang menyebabkan berubahnya cara pandang generasi muda terhadap kehidupan. Misalnya Brooks dan Goble (1997) dalam bukunya :“The case for character education”, yang menyebutkan bahwa gelombang kejahatan tersebut berhubungan erat dengan kurangnya standar moral dalam masyarakat:
“…that the root cause of crime, violence, drug addiction, and other symptoms of irresponsible behavior is, for the most part, the result of inadequate or inaccurate ethical instruction”
Dikatakan oleh Benson dan Engemen dalam bukunya Amoral America yang diterbitkan pada tahun 1975, bahwa ada hubungan erat antara kejahatan dengan kurangnya instruksi moral dan ethic dalam masyarakat Amerika yang menyebabkan terjadinya beragam kekerasan dan kejahatan di Amerika. Telah lama diketahui bahwa Bangsa Amerika telah merubah orientasi pendidikannya kepada pemisahan antara agama dengan pendidikan di sekolah negeri, dimana seperti dikatakan Howard Kirschenbaum (1992) ia juga terlibat dalam penyusunan kurikulum pendidikan moral di Amerika, bahwa pendidikan moral di Amerika telah melarang siswa didik untuk melakukan praktek keagamaan di sekolah umum. Menurutnya, hal ini diterapkan mengingat begitu beragamnya ras dan agama di Amerika (pluralism), sehingga sistem kurikulum di sekolah negeri mengalami kesulitan ketika harus mengajarkan tentang pendidikan moral, karena nilai-nilai luhur siapakah yang harus diajarkan (whose values should be taught?) untuk masyarakat yang sangat heterogen ini.Kelahiran filsafat positivism yang mendasari kelahiran ilmu pengetahuan (science) telah membuat pemisahan sangat jelas antara fakta (yang dapat dibuktikan dengan ilmiah sehingga disebut kebenaran/the truth) dengan nilai (yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, sehingga disebut sebagai perasaan/feeling, bukan kebenaran) juga turut mendorong manusia untuk selalu mempertanyakan tentang moral dan nilai yang bersifat abstrak. Kelahiran teori Darwin juga telah merangsang manusia untuk mempertanyakan semua hal, tentang asal mula manusia hidup, siapa yang menciptakan kehidupan, dan darimana asal kehidupan itu. Oleh sebab itu kebenaran moral juga terus dipertanyakan dan moral dianggap sebagai sesuatu yang terus menerus berubah (morality as being in flux) (Lickona, 1994).
Akibatnya, seperti dikutip dari Lickona, bangsa Amerika terutama generasi mudanya mengalami penderitaan karena senantiasa mempertanyakan nilai dan moral. Mereka juga kekurangan pelatihan etika individual karena sekolah-sekolah tidak lagi mengajarkan dan melatih tentang moral. Ia menyatakan sebagai berikut:
“contemporary western society, and especially American society, suffers from inadequate training in individual ethics. Personal honesty and integrity, appreciation of the interest of others, non-violence and abiding by the law are examples of values insufficiently taught at the present time…The schools and churches are well situated to teach individual ethical responsibility, but do not do so”
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memang telah mendorong manusia untuk mempertanyakan tentang kehidupan termasuk nilai dan moral. Dampaknya adalah manusia mulai merasionalisasikan segala sesuatu termasuk nilai dan moral, sehingga sistem pendidikan Amerika yang semula memperhatikan nilai-nilai tradisional pun telah berubah. Sehingga pendekatan yang dilakukan dalam pendidikan moral di Amerika adalah dengan mengajarkan bagaimana menghargai pandangan moral orang lain, dan menjelaskan bahwa tidak ada jawaban benar dan salah dalam setiap permasalahan kehidupan. Pendekatan dengan menampilkan moral dilemma ini menjadikan anak Amerika piawai dalam memutuskan benar dan salah dari sisi pandangan pribadinya (personal point of view).
Salah seorang pencetus values clarificationyakni Sidney Simon dari School of Education at the University of Massachusetts, menolak apa yang disebutnya kesalahan fundamental dalam pendekatan tradisional untuk pendidikan moral yakni dengan melakukan indoktrinasi. Karena menurutnya indoktrinasi dalam pendidikan moral tradisional akan menyebabkan siswa didik tidak mampu untuk menjelaskan pilihan keputusannya, dia mengatakan : none of us has the right set of values to pass on to others people’s children (Brooks and Goble). Oleh sebab itu dalam pendekatan values clarification para siswa diajarkan tentang ethical relativism dan bagaimana setiap manusia mengembangkan sistem nilainya sendiri-sendiri. Para guru disodori oleh materi permasalahan atau dilema moral yang dirancang sedemikian rupa hingga setiap siswa mampu menemukan nilainya sendiri. Kohlberg juga sejalan dengan Simon dimana ia mengkritik cara pendidikan moral tradisional yang dianggapnya sangat tidak berguna dan totalitarian. Dia mengatakan bahwa pemaksaan nilai tersebut merupakan pelanggaran terhadap kebebasan moral anak (child’s moral freedom).
Bangsa Amerika dengan masyarakat yang begitu pluralistik juga telah menyebabkan sistem pendidikannya mengakomodasi beragam keinginan manusia yang sangat heterogen tersebut. Oleh sebab itu pendekatan moral reasoning dan “values clarification” mulai diterapkan dalam pendidikan moral di Amerika sejak tahun 60-an, yang dipelopori oleh sosiolog Louis E. Raths, Merrill Harmin dan Sidney B. Simon. . Mulai periode ini sistem pendidikan Amerika tidak lagi berfungsi membentuk moral dan karakter siswa didik. Sebaliknya siswa didorong untuk tumbuh dan berkembang kebebasannya dengan mengenalkan bahwa tidak ada jawaban benar dan salah dalam kehidupan selama hati nurani menyatakan benar sebagaimana dituliskan Brooks dan Goble:
“values clarification is concerned not with which values people develop but how they develop their values. The approach seeks to promote growth, freedom, and ethical maturity. It start with the recognition that there’s no right or wrong answer to any question of value”
Kilpatrick (1992) menyebutkan bahwa pendekatan moral reasoning telah mengakibatkan ketidakmampuan manusia untuk membedakan baik dan benar karena setiap orang mempunyai pendapat sendiri-sendiri tentang baik dan benar. Anak-anak Amerika telah terbiasa untuk diajarkan tentang kenapa dia melakukan tindakan tersebut dan semua pendapat tersebut harus dihargai baik oleh rekan lain maupun oleh guru. Misalnya ketika seseorang mencuri (shop-lifting) di sebuah supermarket, maka pertanyaan guru kepada muridnya adalah bagaimana pandangan anda terhadap kasus ini?
Generasi muda ini memandang bahwa segala sesuatu itu OK saja selama saya dan kamu juga OK, seperti diilustrasikan Ryan dan Bohlin (1999): “Iam OK and you’re OK, and different strokes for different folks, and that’s OK”. Dengan nilai-nilai kebebasan dan kemerdekaan yang luar biasa ini maka masyarakat Amerika telah berubah drastis selama 3 dekade mulai tahun 60-an hingga tahun 1990-an. Secara tidak langsung pendekatanmoral reasoning dan values clarificationyang sangat humanis telah merusak otoritas agama dan otoritas orangtua terhadap anak yang selanjutnya meningkatkan demoralisasi atas bangsa Amerika, suatu hal yang sangat tidak diharapkan bahkan oleh salah seorang pencetus pendekatan ini yaitu Howard Kirschenbaum.
3.0 PEMBENTUKAN INDIVIDU BARU
Pendidikan moral adalah suatu kesepakatan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dengan tujuan untuk mengarahkan generasi muda atas nilai-nilai (values) dan kebajikan (virtues) yang akan membentuknya menjadi manusia yang baik (good people) (Nord and Haynes, 2002). Tujuan lainnya adalah membentuk kapasitas intelektual (intellectual resources) pada generasi muda yang memungkinkannya untuk membuat keputusan bertanggungjawab (informed and responsible judgement) atas hal atau permasalahan rumit yang dihadapinya dalam kehidupan.
Moral secara turun temurun diajarkan kepada generasi muda melalui penanaman kebiasaan(cultivation) yang menekankan pada mana benar dan salah secara absolut. Hal yang diajarkan kepada siswa didik adalah mengenalkan pada mereka nilai baik dan salah dan memberikan hukuman dan sanksi secara langsung maupun tak langsung manakala terjadi pelanggaran. Begitulah apa yang telah dilakukan oleh agama manapun dalam membentuk karakter umatnya, yaitu dengan janji pemberian hadiah atau pahala jika berbuat kebaikan dan pemberian siksa dan dosa jika berbuat kejahatan.
Dalam pendidikan moral secara konvensional maka untuk membentuk moral yang baik dari seseorang diperlukan latihan dan praktek yang terus menerus dari individu seperti dikatakan oleh Jon Moline dalam Lickona (1992):
“As Aristotle taught, people do not naturally or spontaneously grow up to be morally excellent or practically wise. They become so, if at all, only as the result of a lifelong personal and community effort”.
Disamping itu kepercayaan bahwa kekuatan supranatural akan menolong dan melakukan pengawasan merupakan inti dari pendidikan moral tradisional. Sehingga manusia tidak hanya menjadi baik moralnya jika ada kehadiran guru atau atasan, tetapi manusia menjadi baik moralnya secara konsisten meskipun tanpa kehadiran pengawas atau orang lain di sekitarnya. Pada prinsipnya ‘you are what you are when nobody’s arround’. Esensi perbuatan yang tanpa pamrih (Ikhlas dalam Islam) ini menjadi ruh bagi tingginya derajat moral baik seseorang.
Untuk mencapai masyarakat yang harmoni, teratur, tertib dan aman, sebagai suatu masyarakat yang diidam-idamkan setiap bangsa bukanlah pekerjaan yang mudah. Meskipun demikian sejak jaman sebelum masehi para filosof dan pemikir telah membuat suatu tanda dan prasyarat tentang bagaimana suatu bangsa selayaknya diatur oleh negara guna mencapai masyarakat dan bangsa yang kuat, secara fisik dan moralnya demi mencapai kesejahteraan bangsa.
Dikutip dari Brooks dan Goble (1997), Confucius, seorang filsuf Cina pada abad ke lima sebelum masehi menyatakan bahwa manusia mempunyai moral alamiah, tetapi walapun dia diberi secukupnya, secara hangat direngkuh, dan secara nyaman dipenuhi, tanpa dibarengi oleh instruksi, maka manusia akan berubah menjadi binatang (“beast”). Bahkan pada abad ke 27 sebelum masehi, seorang filsuf Mesir, Ptah hotep, menulis bahwa yang paling berharga bagi seorang manusia adalah kebajikan dari anak laki-lakinya, dan karakter baik yang paling dikenang. Dwight D. Eisenhower presiden Amerika Serikat menyebutkan pula bahwa tanpa moral dan spiritual, tidak akan ada harapan bagi bangsa Amerika:
“without a moral and spiritual awekening there is no hope for us”
Oleh sebab itu pendidikan moral kepada manusia merupakan prasayarat (pre-requisite) bagi terciptanya masyarakat madani. Sejalan dengan itu adalah apa yang tertulis dalam “Nortwest Ordinance enacted in 1787 yang menyatakan bahwa:
“religion, morality, and knowledge being necessary to good government and the happines of mankind, schools and the means of education shall forever be encouraged”
3.1 Pembentukan Individu Baru Melalui Keluarga
Berbeda dari makhluk hidup lainnya, ketika dilahirkan manusia baru (newborn baby) merupakan makhluk yang tidak berdaya, dan amat sangat tergantung (dependence) pada pengasuhnya dalam hal ini pada ibunya. Menurut Neuman (1990) hubungan ibu-anak bahkan sudah dimulai sejak dalam kandungan (intra-uterine) yakni pada masa uroboric dimana terjadi kesatuan (unity) antara diri (the self), ego dan kebenaran (ruh Tuhan, the light). Pada masa uroboric ini hingga individu berusia 20-22 bulan merupakan masa penting hubungan ibu-anak dan pembentukan diri individu, yang disebut Neuman sebagai primal relationship. Dalam pandangan ahli social learning maka apa yang dilakukan oleh ibu terhadap anaknya merupakan proses yang diadopsi oleh si anak melalui proses social-modelling. Bagaimana cara ibu mengasuh, apakah dengan penuh kelembutan dan kasih sayang atau apakah dengan kasar dan amarah serta penolakan akan membentuk perilaku manusia muda tersebut. Menurut Rohner dalam bukunya the warmth dimension of parenting dikatakan bahwa seorang anak mempunyai perilaku baik atau buruk didasarkan atas cara pengasuhan yang diberikan ibunya. Anak-anak yang diasuh dengan cara diterima (acceptance) akan menjadi anak yang tumbuh dan berkembang lebih baik dibandingkan anak yang diasuh dengan cara ditolak (rejection). Anak-anak yang diasuh dengan kekerasan juga belajar kekerasan pertama kali dari ibunya, sehingga ia juga akan tumbuh menjadi anak yang menolak (anti-social) dan seringkali diikuti oleh perilaku destruktif.
Sebaliknya anak-anak manusia yang diasuh dengan kasih sayang juga akan memiliki ikatan kasih sayang yang kuat dengan ibunya (emotional bonding) dan cenderung menjadi anak yang patuh (obedience) dibandingkan anak yang lemah ikatan emosionalnya. Oleh sebab itu apa yang terjadi pada anak Jepang yang diasuh ibu dan jarang dipisahkan dari ibunya memiliki ikatan emosional yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak barat (western society) pada umumnya, dan ternyata anak-anak Jepang tersebut tumbuh menjadi anak yang patuh dan hormat kepada orangtuanya serta memiliki prestasi akademik lebih baik dibandingkan anak-anak barat (Schikendanz, 1986). .
Keharmonisan dalam keluarga sebagaimana dipercaya oleh para environmentalism juga mempunyai kontribusi terhadap bagaimana perilaku anak manusia. Hal ini telah dibuktikan oleh para ahli selanjutnya, seperti diungkapkan Fagan (1995) bahwa anak-anak yang melakukan kenakalan dan pelanggaran hukum dan norma adalah anak-anak yang berasal dari keluarga yang tidak harmonis, orangtua tunggal atau orangtua yang menikah kembali (step parent family). Anak yang dibesarkan dari keluarga seperti itu juga cenderung memiliki pengalaman pahit dan buruk dalam masa kecilnya, mereka seringkali disiksa (physically or sexually abused), dan mengalami perceraian beberapa kali dalam masa kanak-kanaknya, sehingga anak-anak tersebut belajar kekerasan dan kekejaman dari orangtuanya dan tumbuh menjadi manusia yang keras dan kejam pula.
Contoh yang buruk dari hubungan suami dan istri juga menjadi teladan yang buruk bagi kehidupan pernikahan anak tersebut ketika menjadi dewasa. Mereka kehilangan komitmen terhadap pasangan, sangat menjunjung tinggi aktualisasi diri dan kebebasan, hingga angka perceraian di Amerika dan kebanyakan negara maju lainnya meningkat tajam pada dekade ini. Karena itu anak-anak yang berasal dari keluarga seperti ini akan menjadi manusia yang kehilangan nilai konvensional dan tradisional tentang keluarga. Bagi mereka perceraian bukanlah sesuatu yang salah, meskipun agama Katolik telah mengharamkan terjadinya perceraian, dan agama Islam telah menyatakan bahwa Tuhan membenci perceraian. Terlebih sistem hukum negara saat ini seperti di Amerika Serikat telah memungkinkan terjadinya perceraian meski tanpa sebab adanya kesalahan (no vault divorce). Dampaknya adalah pada menurunnya nilai komitmen dan pengorbanan yang selayaknya ada pada sebuah keluarga. Hal ini secara tak langsung dapat menggerus bukan saja nilai keluarga tetapi juga nilai pribadi saat berhubungan dengan tanggungjawab sosial (civic responsibility). Kebanyakan orang saat ini terlalu memperhitungkan untung dan rugi ketika berhubungan dengan orang lain, termasuk dalam sebuah pernikahan.
Oleh sebab itu keluarga memiliki peran yang besar disamping sekolah dalam memberikan pengetahuan tentang nilai baik dan buruk kepada anak-anaknya. Keluarga pulalah wadah dimana anak dapat menerapkan nilai-nilai yang diajarkan di sekolah, maupun di institusi keagamaan.
3.2 Pembentukan Individu Baru Melalui Pendidikan Karakter
Sekolah merupakan institusi yang memiliki tugas penting bukan hanya untuk meningkatkan penguasaan informasi dan teknologi dari anak didik, tetapi ia juga bertugas dalam pembentukan kapasitas bertanggungjawab siswa dan kapasitas pengambilan keputusan yang bijak dalam kehidupan, seperti dikatakan Horace Mann (1837), Bapak Pendidikan sebagai berikut:
“the highest and noblest office of education pertains to our moral nature. The common school should teach virtue before knowlede, for..knowledge without virtue poses its own dangers “(dikutip dari Admunson dalam Boyer, 1995).
Oleh sebab itu Horace Mann (1796-1859) telah mempunyai pandangan bahwa sekolah negeri haruslah menjadi penggerak utama dalam pendikan yang bebas (free public education), dimana pendidikan sebaiknya bersifat universal, tidak memihak (non sectarian), dan bebas. Dengan demikian menurut Mann maupun John Dewey, seorang filsuf pendidikan, tujuan utama pendidikan adalah sebagai penggerak efisiensi sosial, pembentuk kebijakan berkewarganegaraan (civic virtue) dan penciptaan manusia berkarakter, jadi bukan untuk kepentingan salah satu pihak tertentu (sectarian ends).
Kegagalan pendekatan moral reasoning danvalues clarification yang mulai dirasakan akibatnya pada demoralisasi masyarakat di era tahun 90-an telah membuat titik balik dalam pendidikan moral di Amerika Serikat. Berdasarkan kenyataan itulah maka pada tahun 1992 para ahli pendidikan, pemimpin remaja, dan sarjana etik (ethics scholars) yang menaruh perhatian pada kondisi ini melakukan pertemuan di Aspen, Colorado dan menghasilkan deklarasi Aspen yang berisi antara lain keyakinan bahwa generasi berikutnya adalah penentu bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara sehingga masyarakat memerlukan warga negara yang baik (caring citizenry) dengan karakter moral yang baik pula. Mereka juga yakin bahwa seseorang tidak secara otomatis memiliki karakter moral yang baik sehingga perlu dipikirkan upaya untuk mendidik karakter secara efektif (effective character education).
Untuk itulah kemudian disusun suatu model baru dalam pendidikan moral yang berujung pada pendidikan karakter agar penyakit yang berada dalam masyarakat Amerika maupun negara manapun di belahan bumi ini dapat diobati. Brooks dan Goble menyarankan dalam bukunyaThe Case for Character Education agar sistem pendidikan moral tidak lagi memikirkan tentang nilai-nilai siapa yang akan diajarkan pada siswa di sekolah, akan tetapi perlu dipikirkan nilai-nilai apa yang akan diajarkan pada siswa (what values should we teach?). Dia juga menekankan bahwa agama-agama besar di Amerika telah memiliki kesamaan dalam hal pendidikan karakter dan mempunyai nilai-nilai luhur yang dapat ditemukan dalam masing-masing ajaran agamanya:
It is important to note that the authors’ recent experience with groups of teachers in different religious schools has clearly indicated that the various world religions do have a common set of core values. Work with Muslim, 7th Day Adventist, Lutheran, Jewish and Roman Catholic educators all resulteed in the generation of a list of values that were overlapping. All groups listed such values as honesty, respect, courage, perseverence, responsibility, and caring as common values that must be taught in their school.
Menurut William Bennett (1991) sekolah mempunyai peran yang amat penting dalam pendidikan karakter anak, terutama jika anak-anak tidak mendapatkan pendidikan karakter di rumah. Argumennya didasarkan kenyataan bahwa anak-anak Amerika menghabiskan cukup banyak waktu di sekolah, dan apa yang terekam dalam memori anak-anak di sekolah akan mempengaruhi kepribadian anak ketika dewasa kelak.
Di Indonesia, dimana agama di ajarkan di sekolah-sekolah negeri, kelihatannya pendidikan moral masih belum berhasil dilihat dari parameter kejahatan dan demoralisasi masyarakat yang tampak meningkat pada periode ini. Dilihat dari esensinya seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama tampaknya agama lebih mengajarkan pada dasar-dasar agama, sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum sepenuhnya disampaikan. Dilihat dari metode pendidikan pun tampaknya terrjadi kelemahan karena metode pendidikan yang disampaikan dikonsentrasikan atau terpusat pada pendekatan otak kiri/kognitif, yaitu hanya mewajibkan siswa didik untuk mengetahui dan menghafal (memorization) konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya. Selain itu tidak dilakukan praktek perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran moral bagi manusia. Karena itu tidaklah aneh jika dijumpai banyak sekali inkonsistensi antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang diterapkan anak di luar sekolah. Dengan demikian peran orangtua dalam pendidikan agama untuk membentuk karakter anak (baca:akhlak) menjadi amat mutlak, karena melalui orangtua pulalah anak memperoleh kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui di sekolah. Tanpa keterlibatan orangtua dan keluarga maka sebaik apapun nilai-nilai yang diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter (atau akhlak dalam Islam) harus mengandung unsur afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan prakteknya sekaligus dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari.
3.3 Pendidikan Karakter
Kilpatrick dan Lickona merupakan pencetus utama pendidikan karakter yang percaya adanya keberadaan moral absolute dan bahwa moral absolute itu perlu diajarkan kepada generasi muda agar mereka paham betul mana yang baik dan benar. Lickona (1992) dan Kilpatrick (1992) juga Brooks dan Goble tidak sependapat dengan cara pendidikan moral reasoning dan values clarification yang diajarkan dalam pendidikan di Amerika, karena sesungguhnya terdapat nilai moral universal yang bersifat absolut (bukan bersifat relatif) yang bersumber dari agama-agama di dunia, yang disebutnya sebagai “the golden rule”. Contohnya adalah berbuat jujur, menolong orang, hormat dan bertanggungjawab.
Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi faham (domein kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (domein afektif) nilai yang baik dan mau melakukannya (domein psikomotor). Seperti kata Aristotle, karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dipraktekkan dan dilakukan.
Menurut Wynne (1991) kata karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Oleh sebab itu seseorang yang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkaraktek jelek, sementara orang yang berperilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah karakter erat kaitannya dengan personality (kepribadian) seseorang, dimana seseorang bisa disebut orang yang berkarakter (a person of character) jika tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral.
Berkowitz (1998) menyatakan bahwa kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar (cognition) menghargai pentingnya nilai karakter (valuing). Karena mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu. Misalnya saja ketika seseorang berbuat jujur hal itu dilakukannya karena ia takut dinilai oleh orang lain, bukan karena keinginannya yang tulus untuk menghargai nilai kejujuran itu sendiri. Oleh sebab itu dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek perasaan (domein affection atau emosi). Memakai istilah Lickona (1992) komponen ini dalam pendidikan karakter disebut “desiring the good” atau keinginan utnuk berbuat kebaikan. Menurut Lickona pendidikan karakter yang baik dengan demikian harus melibatkan bukan saja aspek “knowing the good” (moral knowing), tetapi juga “desiring the good” atau “loving the good” (moral feeling) dan “acting the good” (moral action). Tanpa itu semua manusia akan sama seperti robot yang terindoktrinasi oleh sesuatu paham.
3.4 Karakter dan Keberhasilan Akademik Anak
Dalam bukunya yang membahas tentang kecerdasan emosi atau Emotional Intelligence, Daniel Goleman (1995) mengungkapkan pentingnya kemampuan untuk menguasai emosi (kecerdasan emosi) sebagai penentu keberhasilan akademik anak, melebihi kemampuan intelektual (Intellectual Quotient=IQ) yang selama ini diakui berhubungan nyata dengan prestasi akademik siswa. Bahkan Goleman menyatakan bahwa 80 persen kesuksesan seseorang ditentukan oleh kecerdasan emosinya (Emotional Quotient=EQ), sementara hanya 20 persen ditentukan oleh IQ-nya.
Menurut Dorothy Rich (1997) terdapat nilai (values), kemampuan (abilities) dan mesin dalam tubuh (inner engines) yang dapat dipelajari oleh anak dan berperanan amat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah dan di masa mendatang. Hal ini ia percaya dapat dipelajari dan diajarkan oleh orangtua maupun sekolah yang dinamakannya Mega skills, meliputi :
1. percaya diri (confidence)
2. motivasi (motivation)
3. usaha (effort)
4. tanggungjawab (responsibility)
5. inisiatif (initiative)
6. kemauan kuat (perseverence)
7. kasih sayang (caring)
8. kerjasama (team work)
9. berpikir logis (common sense)
10. kemampuan pemecahan masalah (problem solving), serta
11. berkonsentrasi pada tujuan (focus).
Dilaporkan oleh Chicago Tribune dalam Megawangi (2002) bahwa US Departement of Health and Human Services menyebutkan beberapa faktor resiko tentang kegagalan sekolah pada anak. Faktor resiko tersebut bukan pada kemampuan kognitif anak melainkan pada kemampuan psikososial anak, terutama kecerdasan emosi dan sosialnya yang meliputi:
1. percaya diri (confidence),
2. kemampuan kontrol diri (self-control),
3. kemampuan bekerjasama (cooperation),
4. kemudahan bergaul dengan sesamanya (socializaation),
5. kemampuan berkonsentrasi (concentration),
6. rasa empati (empathy) dan
7. kemampuan berkomunikasi (comunication).
3.5 Nilai-nilai yang Diajarkan Dalam Pendidikan Karakter
Dalam pendidikan karakter Lickona (1992) menekankan pentingya tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar siswa didik mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan.
Moral Knowing. Terdapat enam hal yang menjadi tujuan dari diajarkannya moral knowing yaitu: 1) moral awereness, 2) knowing moral values, 3) persperctive taking, 4) moral reasoning, 5) decision making dan 6) self-knowledge.
Moral Feeling. Terdapat 6 hal yang merupakan aspek dari emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter yakni : 1) conscience, 2) self-esteem, 3) empathy, 4) loving the good, 5) self-control dan 6) humility.
Moral Action. Perbuatan/tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu : 1) kompetensi (competence), 2) keinginan (will) dan 3) kebiasaan (habit).
Untuk itu dalam Deklarasi Aspen] dihasilkan enam nilai etik utama (core ethical values) yang disepakati untuk diajarkan dalam sistem pendidikan karakter di Amerika yang meliputi:
1. dapat dipercaya (trustworthy) meliputi sifat jujur (honesty) dan integritas (integrity).
2. memperlakukan orang lain dengan hormat (treats people with respect),
3. bertanggungjawab (responsible),
4. adil (fair),
5. kasih sayang (caring) dan
6. warganegara yang baik (good citizen).
Ratna Megawangi sebagai pencetus pendidikan karakter di Indonesia telah menyusun karakter mulia yang selayaknya diajarkan kepada anak, yang kemudian disebut sebagai 9 pilar yaitu:
1. Cinta Tuhan dan kebenaran (love Allah, trust, reverence, loyalty)
2. Tanggungjawab, kedisiplinan, dan kemandirian (responsibility, excellence, self reliance, discipline, orderliness)
3. Amanah (trustworthiness, reliability, honesty)
4. Hormat dan santun (respect, courtessy, obedience)
5. Kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama (love, compassion, caring, empathy, generousity, moderation, cooperation)
6. Percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination and enthusiasm)
7. Keadilan dan kepemimpinan (justice, fairness, mercy, leadership)
8. Baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty)
9. Toleransi dan cinta damai (tolerance, flexibility, peacefulness, unity)
3.6 Elemen dan Pendekatan Pendidikan Karakter
Menurut Brooks dan Gooble dalam menjalankan pendidikan karakter terdapat tiga elemen yang penting untuk diperhatikan yaitu prinsip, proses dan prakteknya dalam pengajaran. Dalam menjalankan prinsip itu maka nilai-nilai yang diajarkan harus termanifestasikan dalam kurikulum sehingga semua siswa dalam sekolah faham benar tentang nilai-nilai tersebut dan mampu menerjemahkannya dalam perilaku nyata. Untuk itu maka diperlukan pendekatan optimal untuk mengajarkan karakter secara efektif yang menurut Brooks dan Goble harus diterapkan di seluruh sekolah (school-wide approach). Pendekatan yang sebaiknya dilaksanakan adalah meliputi:
1. sekolah harus dipandang sebagai suatu lingkungan yang diibaratkan seperti pulau dengan bahasa dan budayanya sendiri. Namun sekolah juga harus memperluas pendidikan karakter bukan saja kepada guru, staf dan siswa didik, tetapi juga kepada keluarga/rumah dan masyarakat sekitarnya.
2. Dalam menjalankan kurikulum karakter maka sebaiknya: 1) pengajaran tentang nilai-nilai berhubungan dengan sistem sekolah secara keseluruhan; 2) diajarkan sebagai subyek yang berdiri sendiri (separate-stand alone subject) namun diintegrasikan dalam kurikulum sekolah keseluruhan; 3) seluruh staf menyadari dan mendukung tema nilai yang diajarkan.
3. Penekanan ditempatkan untuk merangsang bagaimana siswa menterjemahkan prinsip nilai ke dalam bentuk perilaku pro-sosial.
Mengingat moral adalah sesuatu yang bersifat abstrak maka nilai-nilai moral kebaikan harus diajarkan pada generasi muda ini. Oleh sebab itu tema yang sesuai dengan usia anak dalam berpikir konkrit perlu diakomodasi. Cerita-cerita kepahlawanan dan kisah kehidupan yang perlu diteladani baik dari para orang bijak, maupun para pejuang bangsa dan humanisme tetap diperlukan. Bahkan imajinasi anak terhadap kehidupan yang ideal ini (meskipun apa yang dilihatnya dari sekitarnya tidaklah demikian) perlu ditekankan kepada anak agar ia mencintai kebajikan dan terdorong untuk berbuat hal yang sama.
Kritik para pendidik progresif tentang indoktrinasi nilai (Simon, Kirschenbaum, dan lain-lain) sebagai sesuatu hal yang tidak boleh dipaksakan kepada anak justru merupakan kelemahan dari mereka sendiri. Sebab pendidikan tanpa nilai moral seperti yang mereka lakukan kepada siswa didik adalah merupakan nilai sendiri. Karena itu dalam mendidik karakter pada anak pengenalan dini terhadap nilai baik dan buruk sangat diperlukan. Namun sejalan dengan perkembangan usia anak maka alasan (reason) atau mengapa (why) di balik nilai-nilai baik dan buruk dapat mulai diajarkan kepada siswa didik. Sekali lagi perlu difahami benar oleh para pendidik dan pemerhati kehidupan bangsa, bahwa pendidikan moral dan karakter adalah seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi yang memiliki tujuan mulia dalam membentuk moral manusia, sebab tanpa moral maka manusia seperti dikatakan Wilson (1997) hanyalah seperti “social animal”. Untuk itu maka tugas para pendidik dan sekolah-lah untuk menjadikan manusia menjadi makhluk baik yang beradab dan berbudi luhur, seperti dikatakan Lickona :
“Moral education is not a new idea. It is in fact, as old as education itself. Down through history, in countries all over the world, education has had two great goals: to help young people become smart and to help them become good”
4.0 PENUTUP
Demoralisasi berkaitan dengan ketidakmampuan manusia untuk mengendalikan ego dan kontrol diri. Kebebasan ekspresi, kemerdekaan individu dan kelahiran paham possitivism menyebabkan manusia senantiasa mempertanyakan kebenaran dari perbuatan baik (the virtues, the goodness and the golden rule). Padahal para filsuf pendidikan seperti Horace Mann dan John Dewey telah meyakini perlunya kebajikan (virtues) dalam mendidik manusia selain pengetahuan (knowledge). Kehancuran institusi keluarga dan lemahnya standar moral dalam keluarga dan masyarakat dianggap sebagai salah satu penyebab utama kejadian demoralisasi. Oleh karena itu dalam pembentukan manusia berkualitas pendidikan karakter amat diperlukan agar manusia bukan hanya mengetahui kebajikan (knowing the good) tetapi juga merasakan (feeling the good), mencintai (loving the good), menginginkan (desiring the good) dan mengerjakan (acting the good) kebajikan. Metode pendidikan melalui otak kiri dengan hafalan konsep (memorization in learning) harus dirubah dengan metode yang lebih menekankan pada otak kanan dengan perasaan, cinta, serta pembiasaan dan amalan kebajikan di dalam keluarga maupun sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Bennet,W.J. 1991. Moral Literacy and the Formation of Character. In: J.S.Bennigna (ed). Moral Character, and Civic Education in the Elementary School. Teachers College Press, New York.Berkowitz,M.W. 1998. The Education of Complete Moral Person
Brooks,B.D. and F.G.Goble. the Case for Character Education: The Role of the School in Teaching Values and Virtues. Studios 4 Productions. Boyer,E.L. 1995. Character in the Basic School, Making a Commitment to Character.
Dina,W.F., I.D.Puspita, E.Tanjung,R.Widiastuti. 2001. Laporan Karya Ilmiah Produktif Bidang Sosial. Jurusan GMSK,Faperta, IPB.
Fagan,P.F. 1995. The Real Root Causes of Violent Crime: the Breakdown of Marriage, Family and Community.
Goleman,D. 1995. Emotional Intelligence; Why It Can Matter More than IQ. Bantam Books, New York. Horn,W.F. 1991. Children and Family in America: Chalange for the 1990s.
Kilpatrick,W. 1992. Why Johny Can’t Tell Right From Wrong. Simon & Schuster, Inc. New York.
Lickona, T. 1992. Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. Bantam Books, New York.
_________. 1994. Raising Good Children: From Birth Through the Teenage Years. Bantam Books, New York.
Mack,D. 1997. The Assault on Parenthood: How Our Culture Undermine the Family.
Megawangi,R. 1999. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Pustaka Mizan, Bandung.
Neuman,E. 1990. The Child. Shambala Publications,Inc., Massachusetts.
Nord,W.A. and C.C.Haynes. 2002. The Relationship of Religion to moral Education in the Public Schools.
Pickthall,Y.A. 2002. Statistics of Teens. Dikunjungi di: Info@soundvision.com. Pada bulan Oktober 2001.
Rich,D. 1997. Mega Skills, Building Children’s Achievement for the Information Age. Houghton Mifflin Company, New York.
Rohner,R. 1986. The Warmth Dimension of Parenting: Parental Acceptance-Rejection Theory. Sage Publications, California.Ryan and Bohlin. 1999. Values, Views or Virtues?
Schikendanz,J. 1995. Family Socialization and Academic Achievement. Boston University Press.Vasta,R., M.M.Haith,S.A.Miller. 1992. Child Psychology: The Modern Science. John Wiley & Sons Inc., New York.
Wade,C. and C.Tavris. 1990. Psychology. Harper & Row Publishers, New York.
Wilson,J.Q. 1993. The Moral Sense. Simon & Schuster Inc,New York.
Wynne,E.A. 1991. Character and Academics in the Elementary School. In J.S. Benigna (ed). Moral Character, and Civic Education in the Elementary School. Teachers College Press, New York.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar